Senin, 08 Oktober 2012

Gotta big my (Not-so-called) fairytale

Cinderella, dengan bantuan ibu peri akhirnya bisa pergi ke pesta dansa untuk bertemu dengan pangeran, blablabla.... 
and they lived happily ever after

Sang putri tidur yang dikutuk hingga tahunan lamanya dapat bangun lagi karena ciuman seorang pangeran, akhirnya mereka jatuh cinta ....
and they lived happy ever after

sejak kecil kita di doktrin tentang hidup ala putri buatan Disney, yang kelihatannya sempurna dengan gaun dan sepatu yang indah (I think I've written about this but hell yeah..who cares). Hingga dewasa, kita masih saja disuguhi cerita-cerita romantis ala Hollywood di mana pemeran wanitanya selalu memiliki apartemen/rumah yang bagus, baju dan sepatu merek desainer ternama meskipun pekerjaannya hanya sebagai penulis (sigh), rambutnya selalu tertata rapi meskipun hanya keluar membeli kopi. Lalu mereka bertemu dengan the man of their dream, fall in love then happy ending ala Hollywood. Belum lagi novel-novel yang beredar di pasaran. ceritanya berkisar pada anak nerdy yang suatu terbangun dan menyadari dirinya seorang putri pewris kerajaan, atau cewek geek yang sukses membuat pangeran jatuh cinta, ataupun cerita tentang wanita yang way too damn lucky karena bisa dapat suami dokter bedah super kaya blablabla...

To be honest, cerita-cerita tersebut tidak melulu mengajarkan kita untuk bermimpi setinggi langit. Ada nilai moral yang terkandung dalam setiap cerita, kita harus bersusah payah dahulu jika menginginkan sesuatu seperti Cinderella yang terus-terusan disiksa oleh ibu tiri atau Putri Aurora yang harus dikutuk hingga tertidur selama bertahun-tahun. But in the end, they got the Prince.

Kadang saya berharap bias punya hidup seperti di salah satu dongeng putri atau seperti di salah satu film komedi romantis kesukaan saya. Paling tidak saya tidak harus repot mengurus rambut, atau bingung memikirkan baju yang akan dipakai, atau bahkan saya tidak harus kebelet ke toilet. Yang lebih indah lagi (prett), setiap kali saya sedih, akan selalu ada pangeran/pria ganteng yang mengejar hingga ke stasiun Grand Central atau ke puncak Empire State Building di New York, lalu berlutut dengan latar belakang flash mob yang diiringi lagu kenangan kami berdua, dia menyatakakan cinta lalu meminta saya menikah dengannya.

Tapi ketika saya justru bertemu dengan pria yang cuek, acuh tak acuh dan sama sekali tidak romantis (jangan lupa betapa datarnya dan heartless-nya dia), tapi justru saya merasa nyaman dengan ketidakacuhannya. Apa lantas dia bukan my Prince Charming? But why him? he never did any prince charming shit like in a fairy tale, he can't do any prince charming shit like in a movie. But why does everything feel so damn right and we're that comfortable with each other's nearness. Well, he maybe emotionless, but I'm also emotional damaged and It's what makes this so awesome.  

Well, my Prince Charming isn't coming to rescue me in a horse and carriage. That's not who I want. I mean, I'm looking for a man to be my partner. I could take on the world with. I gotta big my fairy tail. 
Maybe that heartless-emotionless-lempeng-cuek guy is my real Prince Charming.
Why not him?

2 komentar: